Jelaskan heroisme dalam perang tondano!
Sejarah
YayiFradilla
Pertanyaan
Jelaskan heroisme dalam perang tondano!
1 Jawaban
-
1. Jawaban MasterViland2
Warga Minahasa, Sulawesi Utara, memiliki kisah heroik sendiri saat melawan penjajah Belanda. Kisah ini banyak disajikan lewat catatan-catatan sejarah ilmuwan daerah ini dan menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat "Tanah Nyiur Melambai" sebutan lain daerah di ujung utara NKRI ini.
Dikutip dari laman Facebook Albert WS Kusen, seorang pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado, kisah heroik keberanian orang Minahasa melawan penjajah Belanda puncaknya terjadi pada tanggal 5 Agustus 1809. Digambarkan Kusen, situasi saat itu, dipenuhi asap mesiu, bau anyir darah dan daging bakar, bahkan seluruh kawasan danau dan sungai bagaikan permadani diselimuti darah (Moraya).
Meski dalam posisi kalah, sebagian pasukan (waraney) yang sempat melarikan diri ke kawasan pegunungan lembean terus melakukan perlawanan secara gerilya. Dengan kata lain tidak meninggalkan sejarah menyerah terhadap pasukan Belanda.
Pada hakekatnya, dituliskan Kusen sesuai pendapat penulis asal Tondano Giroth Wuntu, Perang Tondano adalah perang patriotik besar dari rakyat Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajahan Belanda yang berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661, dan berakhir dengan perang perlawanan terbesar pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.
Para pemimpin Perang Tondano, selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas Matulandi (semuanya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai organisator dan atau otak (de ziel) dari perlawanan melawan kompeni Belanda, selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari-cari oleh pihak Belanda untuk ditangkap.
Dalam dokumen Perang Tondano, lanjut dia, akhirnya Tewu ditangkap menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi penghuni penjara di Benteng Fort-Amsterdam. Mereka ditangkap oleh Belanda ketika selagi mengikuti musyawarah di Benteng Belanda tersebut. Mereka ditangkap karena keduanya dengan tegas menentang usaha dari Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui oleh Jacob Claesz, kepada David van Peterson yang menyatakan: "Bahwa orang-orang Minahasa bukan merupakan orang taklukan atau bawahan, tetapi yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda."
Latar belakang terjadinya perang antara orang Minahasa dengan kompani Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak (wilayah) di Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda. Belanda dianggap sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona'as (pemimpin), antara lain Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona'as Umboh dari Tomohon.